Tuol Sleng – Perjalanan ke Masa yang Ingin Dilupakan
Saat orang bicara tentang liburan ke luar negeri, biasanya yang muncul di kepala itu makanan enak, tempat eksotis, foto-foto Instagramable. Tapi, ada satu perjalanan saya ke Kamboja yang benar-benar beda. Bukan soal senang-senang, justru sebaliknya. Tempat itu bernama Tuol Sleng. Nggak banyak yang tahu. Tapi siapa pun yang pernah ke sana… hampir pasti pulang dengan hati yang remuk.
Saya ke Phnom Penh tanpa ekspektasi khusus. Tujuan utama? Iseng. Teman saya yang backpacker garis keras bilang, “Kalau kamu cuma lihat Angkor Wat doang, kamu belum kenal Kamboja sebenarnya.” Saya ketawa waktu itu. Tapi saran dia ternyata bukan isapan jempol.
Gedung Biasa, Tapi Isinya Nggak Biasa

Dari luar, Tuol Sleng kelihatan seperti bangunan tua biasa. Gedung sekolah zaman dulu. Tanpa pagar mewah, tanpa taman cantik. Tapi begitu masuk, suasananya langsung beda. Diam. Berat. Kayak ada beban yang menempel di udara. Saya sampai lupa ngobrol sama teman. Kami jalan pelan, kayak nggak enak mengganggu sesuatu yang lebih tua dari waktu.
Tuol Sleng dulunya sekolah. Tapi saat Khmer Merah berkuasa, tempat ini dijadikan penjara rahasia. Bukan penjara biasa—ini tempat penyiksaan. Namanya S-21. Sekitar 17 ribu orang dikurung dan disiksa di sini. Yang selamat? Katanya nggak sampai dua puluh orang. Bayangin.
Langkah Demi Langkah di Antara Bayangan Masa Lalu
Kami masuk ke ruangan pertama. Lantainya masih asli, dindingnya kusam. Ada ranjang besi. Cuma itu isinya. Di atas ranjang, ada foto—potret korban, tergeletak tak bernyawa. Dan ya, itu bukan rekayasa. Foto itu diambil saat tempat ini baru dibebaskan.
Saya sempat berdiri lama. Hening. Rasanya waktu berhenti. Saya bukan tipe orang yang gampang terbawa suasana, tapi ini beda. Ini… nyata. Nggak ada efek, nggak ada narasi drama. Cuma ruang, dan rasa yang menempel di situ.
Wajah-Wajah yang Nggak Pernah Minta Jadi Korban
Di satu lorong, ada dinding penuh foto wajah. Anak-anak, ibu muda, kakek-kakek, remaja laki-laki. Semua pakai baju tahanan. Tatapan mereka kosong. Beberapa seperti baru saja menangis, yang lain… mungkin belum tahu mereka akan disiksa sampai mati. Saya nggak kuat lihat semua. Rasanya seperti mereka masih di sana, mengawasi siapa pun yang masuk.
Seorang pengunjung bule di sebelah saya tiba-tiba duduk di lantai. Mungkin syok. Saya paham banget. Karena saya pun sempat merasa ingin muntah. Tapi saya tahan. Saya pikir, kalau mereka bisa tahan disiksa di sini, masa saya nggak bisa tahan 2 jam keliling?
Bukan Museum, Ini Makam Tanpa Liang
Saya rasa, menyebut Tuol Sleng sebagai museum itu kurang tepat. Museum biasanya tempat edukasi. Tapi ini lebih ke… ruang luka yang nggak mau sembuh. Ruangan demi ruangan menyimpan jejak penderitaan manusia—rantai di tembok, tulang, tulisan tangan korban, bahkan instruksi penjaga seperti: “Dilarang tertawa saat interogasi.”
Gila. Tertawa pun dilarang? Nggak habis pikir.
Kisah yang Saya Bawa Pulang
Yang paling membekas buat saya adalah cerita tentang Bou Meng, salah satu dari sedikit yang selamat. Dia ditahan di sini bareng istrinya. Bou Meng bisa selamat karena dia bisa melukis potret Pol Pot. Tapi istrinya? Dibawa ke ruang lain, dan nggak pernah balik.
Saya dengar kisah itu dari audio guide. Dan saat itu juga saya diam, nggak bisa ngomong apa-apa. Rasanya dada penuh. Penuh rasa bersalah, sedih, dan malu jadi manusia.
Kenapa Harus ke Sini?
Kalau kamu tanya, “Kenapa harus mampir ke tempat menyeramkan begini?” Jawaban saya sederhana: karena kita perlu tahu.
Kita perlu tahu bahwa manusia bisa sekejam ini ke sesamanya. Kita perlu tahu supaya nggak asal percaya propaganda, supaya ngerti harga kemerdekaan, supaya paham kenapa sejarah nggak boleh dihapus. Karena kalau kita lupa, bisa-bisa kita mengulang kesalahan yang sama.
Tips Kalau Mau ke Tuol Sleng
- Jangan datang sendiri kalau kamu gampang emosional.
- Gunakan audio guide, penjelasannya dalam banget.
- Datang pagi biar lebih tenang dan sepi.
- Jangan ambil foto berlebihan. Hormati tempat ini.
- Luangkan waktu duduk dan renung, jangan cuma lewat dan selfie.
Bukan Traveling Biasa
Perjalanan ke Tuol Sleng bukan traveling yang bisa kamu ceritakan sambil tertawa di kafe. Tapi justru itu yang bikin penting. Karena setelah dari sana, kamu akan lihat dunia dengan cara yang sedikit berbeda. Kamu jadi lebih peka. Lebih bersyukur. Dan mungkin, lebih manusiawi.
Saya pulang dari Tuol Sleng bukan dengan oleh-oleh, tapi dengan hati yang berat dan kepala yang penuh tanya. Dan itu, buat saya, justru perjalanan yang paling berarti.
Baca Juga :
Kawah Putih Ciwidey: Keindahan Abadi di Bandung