Aku tidak tahu apa yang membuatku akhirnya berdiri di depan papan kayu bertuliskan “Aokigahara”. Mungkin karena terlalu sering dengar kisahnya dari forum horor, atau sekadar ingin membuktikan bahwa tempat itu tak semenakutkan katanya. Yang pasti, hari itu kabut turun perlahan, menyelimuti pohon-pohon tinggi yang berdiri seperti barisan penjaga bisu. Dan aku—turis asing dengan ransel butut—melangkah masuk.
Hutan yang Tidak Pernah Berisik

Berjalan di Aokigahara bukan seperti hiking ke gunung. Jalurnya rata, tenang, dan yang paling mencolok: tak ada suara. Bukan karena pakai headset, tapi karena memang begitu. Tak ada kicauan burung, tak ada gesekan ranting. Hanya suara sepatu menjejak tanah dan nafas sendiri yang lama-lama terdengar seperti gema.
Beberapa meter dari pintu masuk, ada tali rafia berwarna mencolok melintang ke dalam hutan. Aku tak berani lewat sana. Bukan karena takut hantu, tapi karena tahu batas. Tali itu biasanya dipasang oleh orang yang tak berniat kembali. Bahkan di tempat sesunyi ini, manusia tetap ingin meninggalkan jejak.
Sendiri Tapi Tak Sepi
Aku berjalan sendiri, tapi anehnya tak merasa kesepian. Kadang justru merasa seperti sedang ditemani. Bukan oleh orang, tapi oleh semacam kehadiran. Entahlah, mungkin hanya sugesti. Tapi Aokigahara memang punya cara sendiri mengisi ruang kosong di sekitarmu. Kamu tak akan merasa sendirian, walau kamu benar-benar sendiri.
Seorang turis Jepang paruh baya sempat menegurku di jalur utama. Bahasa Inggrisnya terbata-bata, tapi intinya dia bilang, “Kalau kamu dengar suara yang aneh, jangan ditanggapi. Terus saja berjalan.”
Aku hanya mengangguk, setengah tak paham, setengah tak ingin tahu lebih banyak.
Uang dan Urusan Praktis
Oh ya, buat yang ingin ke sini, sedikit cerita teknis: jangan andalkan kartu debit. Di sekitar Kawaguchiko, lebih banyak warung tunai yang cuma terima yen cash. Tukar saja sebelum berangkat. Waktu itu aku bawa sekitar 10.000 yen (setara Rp 1,1 juta lebih sedikit), dan itu cukup buat bayar bus, beli makanan, serta oleh-oleh satu dua biji.
Transport dari Tokyo? Gampang. Naik kereta ke Otsuki, lanjut Fujikyu Railway ke Kawaguchiko, lalu sambung bus lokal. Kalau berangkat pagi, siang kamu sudah bisa masuk hutan. Tapi hati-hati, bus terakhir pulang dari area itu nggak sampai malam. Jangan terlalu larut.
Makan, Tapi Jangan Ngobrolin yang Serem
Setelah keliling hutan, aku mampir ke kedai kecil dekat danau. Duduk di kursi kayu dengan semangkuk Hōtō panas. Kalau belum pernah coba, ini mie lokal Yamanashi dengan kuah kental dan potongan labu. Cocok buat menghangatkan tubuh setelah dikepung kabut dingin.
Pemilik kedai, nenek-nenek ramah, sempat tersenyum saat tahu aku dari Indonesia. Tapi begitu kutanya soal Aokigahara, senyumnya hilang. Dia hanya berkata pendek, “Tempat itu… jangan dibicarakan terlalu banyak.”
Aku langsung mengangguk, menyeruput kuah, dan diam. Pelajaran: di Jepang, beberapa tempat memang dibiarkan berbicara sendiri—tanpa perlu narasi manusia.
Jangan ke Sana untuk Konten
Aku harus bilang ini: banyak yang datang ke Aokigahara cuma demi video YouTube atau foto Instagram dramatis. Padahal tempat ini bukan wahana hiburan. Ada banyak kisah yang tertinggal di sana. Banyak jejak yang tak terlihat, tapi terasa. Kalau kamu ingin ke sana, pastikan kamu datang bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mengalami hening yang jujur.
Apa yang Aku Bawa Pulang?
Aokigahara tidak membuatku takut. Tapi ia membuatku berpikir. Tentang kesendirian, tentang suara-suara kecil di kepala kita, dan tentang bagaimana alam bisa menjadi cermin yang sangat jujur. Kadang, diam adalah suara paling lantang.
Aku tak melihat penampakan. Tak mengalami kejadian aneh. Tapi saat keluar dari hutan itu, aku merasa seperti telah bercakap—bukan dengan orang, tapi dengan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Penutup: Bukan Tempat Biasa, Tapi Juga Bukan Tempat Terlarang
Banyak orang menyebut Aokigahara sebagai hutan terkutuk. Tapi buatku, ia lebih seperti tempat yang meminjamkan ketenangan pada siapa saja yang tak keberatan mendengar sunyi.
Kalau suatu hari kamu merasa dunia terlalu bising, datanglah ke tempat ini. Tapi jangan bawa suara ramai. Datanglah seperti tamu. Hening, hormat, dan pulang dengan diam yang lebih berarti.
Cerita dari Ujung Dunia: Hidup di Kutub Utara